Semangat Merdeka
Note :
1. Semua cerita yang hamba
buat ini 100% berasal dari otak hamba dan bukan hasil copyan dari cerita lain
2. Dilarang keras meng-copy/re-copy semua cerita hamba.
Ohaiyo
Gozaimasu Minna san…. Kodoyo Habar !
Kali ini hamba akan share sebuah Cerita Cinta berjudul Semangat
Merdeka. Ok untuk lebih jelasnya simak keterangan di bawah ini :
Keterangan
:
1 : pada
cerita kali ini, para tentara belanda akan berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Karena jika menggunakan bahasa Inggris dan Belanda, pasti para
pembaca sekalian bingung mencari arti kalimat di yang dikatakan dalam cerita.
2 : Suara
senjata : Tsiit (Sniper Rifle menggunakan peredam suara)
TuuTuuf / TuuTuuTuuTuuTuuTuuf (M-16. Dan dibaca cepat.)
Semangat Merdeka (One Shoot) by Wirasetya Rade
.
.
.
Genre : War, Action,
Drama.
Warning : AU, OOC,
Typos, etc.
Jumlah Chapter 1 (One Shoot)
Pairing : Wira, Dawan,
Fadli (20 tahun) x Prisil, Selly, Gisell (20 Tahun)
Summary : Sekelompok
tentara yang telah berhasil menyelesaikan misi harus berusaha bertahan hidup
dan mencari transportasi menuju markas mereka karena sebuah insiden tak
terduga. Let’s read guys..
.
DON’T LIKE, DON’T READ !
.
.
.
“Markas besar… markas besar… di sini
Alpha 1.. di ulangi, di sini Alpha 1 melapor.” Ucap seorang letnan berambut
kuning, mata safir, dan berkulit tan dari sebuah helicopter melalui sebuah
radio portable yang biasa disebut
“Manpack” yang terpasang rapih di punggung anggotanya yang juga merupakan
seorang tentara medis.
“Di sini
markas besar kepada Alpha 1. Bagaimana keadaan ? ganti..” ucap seorang
anggota tentara bersurai putih dari
balik benda yang di sebut Manpack tersebut. “Misi selesai. Pangkalan minyak
belanda berhasil di musnahkan. Ganti..” balas Letnan berambut kuning itu dari
atas helicopter. “bagus. Berapa anggota yang selamat. ?” Tanya anggota bersurai
putih itu kembali.
“1 pilot
bernama Dawan, 1 medis bernama Fadli, 3 orang warga sipil berjenis kelamin
perempuan dan masing-masing berusia 20 tahun, serta saya sendiri Letnan Wira.
Ganti..” Balas sang Letnan. “Baiklah. Segera menuju markas.”
Ketiga
pemuda ini bernama Dawan, berambut Hitam, dengan warna mata ruby, dan juga kulit putih, sebagai pilot.
Fadli, berambut Cokelat, dengan warna mata seperti onix, juga kulit putih
pucat, sebagai medis, serta Wira yang memiliki rambut kuning, dengan warna mata
safir, dan kulit tan, sebagai pemimpin regu.
Mereka
bertiga di berikan sebuah misi untuk menghancurkan pangkalan minyak tentara
Belanda yang berada di sebuah desa besar dan berpenduduk cukup banyak yang
bernama Brasta. Dalam perjalanan menuju Brasta, mereka terkejut dengan suasana
horror karena kini desa tersebut telah hancur berantakan dengan kondisi mayat
penduduk yang berserakkan dimana-mana.
Menurut
atasan mereka, sebelum mereka ditugaskan, atasan mereka telah menugaskan sebuah
kelompok kecil yang beranggotakan 7 orang dengan 2 helicopter untuk
menghancurkan salah-satu sumber penghasilan Belanda tersebut namun hasilnya
nihil. Para tentara yang di tugaskan sebelumnya menghilang bagai ditelan bumi
dalam sebuah pertempuran hebat. Untuk itulah atasan mereka mengirimkan 3 orang
pemuda gagah berani ini untuk mengganti para tentara sebelumnya.
Setelah ke
tiga pemuda itu berhasil menghancurkan target, mereka melihat 3 orang gadis
yang sedang melambaikan tangan dengan teriakan super kencang dari atas
helicopter mereka. Gadis yang pertama memiliki rambut ungu, mata Amethyst,
dengan kulit putih mulus. Gadis kedua bersurai pink, mata emerald dan kulit
putih. Dan yang terakhir berambut pirang pucat sepinggang.
“Hancurkan
mereka. !” perintah seorang pimpinan tentara Belanda, berambut merah dan
lingkar mata seperti panda dengan pakaian tentara lengkap setelah melihat
helicopter tentara Indonesia yang melintas di atas kepalanyanya . Di sebelah
kirinya terdapat salah-seorang anggota terlihat sedang memegangi sebuah Rocket
Launcher (Rudal). Di belakang pria kekar tersebut terdapat sekumpulan besar
tentara bawaannya dengan beberapa Jeep namun ada juga yang berjalan kaki.
FUUSSSSS…
DUUAARRR ! peluru berukuran besar yang tadinya berasal dari sebuah jalanan
beraspal kini sampai dan mengenai ekor helicopter yang sedang di tumpangi Wira
dan kawan-kawan.
“Mayday…
mayday… Alpha 1 jatuh.. Alpha 1 jatuh…” teriak pemuda bersurai hitam yang
diketahui bernama Dawan ini melalui sebuah alat komunikasi yang terhubung
langsung dengan pangkalan udara.
“Kyyyyyyyaaaaaaaaaa…”
“Hey..
tenang-tenang.. !” Wira berusaha meredam kepanikan dari para gadis yang
terlihat sangat takut itu. Ada yang berteriak seperti melihat hantu, ada juga
yang sedang menutupi mulut dengan dua tangan untuk mencegah cairan super bau
kalau-kalau akan keluar, bahkan ada juga yang langsung pingsan seketika saking
paniknya.
“Dawan,
segera cari sebuah tempat untuk mendarat. !” perintah pemuda bersurai kuning
itu pada pilot sekaligus sahabat kecilnya tersebut. Sementara Fadli hanya sibuk
dengan Manpack yang tergantung gagah di punggung pemuda bersurai cokelat
tersebut. “Baik pak.”
“Aaaaaaaaaa….
!” BRUUUKK… !
oOo Skip oOo
20:00,
hutan Brasta, 3 jam setelah Alpha 1 jatuh.
“Eghh…
A-aw..” pemuda bersurai hitam muncul dari bagian depan puing-puing helicopter
yang masih terlihat beberapa kumpulan asap pada spot-spot tertentu. Pemuda itu segera
membersihkan beberapa kotoran yang sedari tadi menempel bagai lumut di seluruh
tubuhnya, dan berusaha mencari rekan-rekannya di antara dinginnya malam hutan
Brasta.
Tak lama
setelah itu, Dawan yang sedari tadi sibuk mencari seluruh rekannya, akhirnya
menemukan kedua sahabatnya serta para gadis yang sedang berjalan
tunggang-langgang sembari memegangi perut mereka masing-masing. Oh ya, jangan
lupa Fadli yang terlihat menggendong seorang gadis bersurai pirang pucat yang
ternyata belum sadar sejak tadi.
“Bagaimana
keadaanmu ?” Tanya Wira yang ternyata telah sampai tepat di depan Dawan dengan
sedikit memperhatikan mulai dari ujung kaki sampai kepala pemuda bersurai hitam
tersebut. “Siap. Saya baik pak. Hanya bagian tangan kiri saya saja yang
terluka.” Jawab Dawan menegakkan tubuhnya. “Baguslah. Hm.. oh ya, mulai
sekarang aku ingin kau memanggilku dengan namaku saja. Dan bersikaplah seperti
biasa ” Wira tersenyum sembari menepuk pelan bahu Dawan.
Mereka
segera mencari tempat berlindung untuk sekedar beristirahat sampai sang fajar
muncul dan menampakkan dirinya. Mereka menemukan sebuah semak yang cukup luas
dengan diapit ke dua pohon pisang di bagian kiri-kanannya.
“Kalian
tidurlah. Kami akan berjaga” ujar Wira pada kedua gadis minus gadis bersurai
pirang pucat yang masih bergejolak dalam dunia bawah sadarnya. Pemuda bermata
safir itu segera memberi kode pada Fadli untuk menyusul ke tempat Dawan yang
masih sibuk membersihkan beberapa senjata di bawah pohon besar berjarak 5 langkah
dari tempat tidur mereka.
“Hey bung.. Bagaimana
persiapan senjata kita ?” Tanya Fadli menepuk punggung Dawan dan merebahkan
pantatnya di sebuah batang pohon. “Hanya tersisa 2 unit M-16, 1 unit sniper
rifle, 1 unit pistol, 1 unit peredam, 3 unit ranjau, dan 1 kotak kecil amunisi
dari masing-masing senjata.” Dawan memperlihatkan semua persediaan senjata pada
kedua sahabatnya. “Sial.. ! bagaimana dengan radio ?” lanjut Wira yang kali ini
berbalik mengarahkan pandangannya pada Fadli. “…..” Pemuda bermata onix
tersebut hanya diam dengan sedikit menggelengkan kepalanya. “Haaahh… kalau
begitu kita harus menghemat setiap peluru yang kita miliki sampai kita sampai di
markas besar….” “baiklah, aku dan Fadli akan mengambil M-16. dan kau Dawan, kau
akan mengambil sniper dan juga peredam. Sementara pistol akan kita jadikan
cadangan. ” jelas Wira panjang lebar.
M-16
Sniper Rifle
Pistol & Peredam
Ranjau
oOo Skip oOo
Wira membuka
matanya dengan malas. Pemuda itu berkedip beberapa kali sebelum benar-benar
bangun. Ia meregangkan tubuhnya untuk memperoleh kesadaran penuh. Setelah
beberapa sinar matahari yang berhasil menembus dedaunan dan mengenai wajahnya,
ia segera membangunkan kedua rekan serta para gadis yang masih berada dalam
dunia mimpi mereka masing-masing.
Kemana kita
akan pergi ? Tanya gadis berambut pink memegangi kepalanya. Mungkin efek dari
kejadian kemarin. “kita akan menuju desa.”. setelah memulai hari dengan
beberapa perbincangan singkat, mereka mulai berjalan. Wira di bagian depan
diikuti Fadli di urutan kedua, ke tiga gadis yang terlihat sangat was-was dan
Dawan di barisan belakang.
“Itu dia.”
Wira melihat sebuah rumah tua, berlatar belakang warna biru, berbahan dasar
kayu, bertingkat 2, dan dikelilingi pagar kayu serta beberapa rumah para
penduduk. Mereka segera menuju rumah tua tersebut dan segera mengatur posisi
masing-masing. Fadli yang berjaga di sudut ruangan dengan sebuah jendela kecil
sebagai media pengintaian, Wira yang berjaga di bagian belakang di sebuah dapur
kecil dengan beberapa jendela, dan Dawan yang di tempatkan di tingkat dua.
Pemuda ruby ini sengaja di tempatkan di bagian atas karena ia merupakan
salah-satu penembak jituh yang mahir menggunakan senjata seperti Sniper dan
sebagainya.
“P-permisi.” Sebuah suara halus
tiba-tiba menghamburkan rasa waspada Dawan. “Hm ?” ditariknya mata ruby pemuda
itu dari sebuah teropong kecil yang terpasang di bagian atas senjata dan
diarahkannya pada seorang gadis bersurai pink dengan keindahan mata emerald
yang tengah tertunduk malu.
“Apa kau ada sedikit makanan ?”
dengan sedikit keberanian gadis bersurai pink ini menatap lawan bicaranya.
DEGG.. mata gadis itu sedikit melebar dengan irama jantung berdebar kencang.
Ini merupakan momen pertama baginya melihat wajah pemuda yang seketika merembet
masuk ke dalam hati gadis yang satu ini.
“Hmm.. tunggu sebentar.” Sementara
Dawan mengotak-atik ransel hitam miliknya, dengan malu-malu gadis bermata
emerald ini merebahkan tubuhnya di sebelah Dawan dengan sesumbrat merah yang
muncul di kedua pipinya. “Ini. makanlah” Dawan mengeluarkan sebuah kotak
makanan berukuran kecil berbahan dasar alumunium. “B-bagaimana denganmu ?”
“Aku tidak apa-apa. Jadi kau makan
sajalah.” Sebenarnya perut pemuda itu sudah cukup mengamuk kelaparan. Namun ia
tidak tega melihat keadaan seorang gadis yang sedang kelaparan. “Terima kasih.”
Dengan malu-malu gadis itu mengambil kotak makanan diikuti senyum simpul yang
terpancar dari pemuda bersurai hitam tersebut.
“Ee.. N-namamu siapa ?” Tanya Dawan
sedikit mencuri-curi pandang “Namaku Selly. K-kalau kau ?” Tanya Selly balik
namun tetap dengan aktivitas santap-menyantapnya. “Namaku Dawan”
Sementara
itu…..
“M-maaf..”
“Hm ? oh kau
rupanya. Ada apa ?” Wira yang sedari tadi sibuk memperhatikan jendela kecil dengan pemandangan beberapa
rumah di balik kaca tebal tersebut sedikit terkejut dan mencari sumber suara. “E-ee… I-itu.. T-tolong temani
aku B-buang air kecil.” Ucapnya dengan nada malu-malu dan rona merah yang
terpampang jelas di kedua pipinya. Ternyata gadis bersurai ungu ini telah jatuh
hati pada saat pertama kali melihat
pemuda tampan dengan surai kuningnya ini.
“Oh, baiklah.” Kedua insan itu
segera menuju sebuah ruangan kecil dengan tulisan toilet di atasnya yang
kebetulan berada di luar rumah tua tersebut. Wira mempersilahkan gadis dengan
surai ungu masuk sedangkan ia berjaga diluar ruangan yang biasa di sebut toilet
tersebut. Setelah selesai, mereka langsung melenggangkan kedua kaki mereka
masuk kembali kedalam rumah tua yang terkesan cukup angker bagi para gadis itu.
“Oh ya, kalau boleh tau namamu
siapa ?” Tanya Wira pada seorang gadis yang kini duduk tepat disebelahnya
dengan kepala tertunduk karena malu. “P-prisil.” Jawab Prisil gugup. “Oh. Kalau
namaku Wira.” Pemuda bersurai kuning tersebut menyodorkan tangannya dan
langsung di balas Prisil namun sedikit gemetar.
Sementara
itu…
“H-hay.. boleh aku duduk di sini ?”
ucap gadis bersurai pirang pucat ini pada Fadli yang terlihat sangat waspada
dengan keadaan di luar rumah. “terserah kau saja.”
“Kalau boleh
tau namamu siapa ?”
“Fadli. Kau
?”
“Gisell”
Begitulah
beberapa percakapan mereka sampai….
“Wira, Fadli. Aku melihat
sekumpulan tentara belanda yang sedang menaiki beberapa jeep.” Dawan memberikan
informasi yang cukup mengejutkan pada kedua sahabatnya memalui sebuah alat yang
sengaja di pajang di sekitar telinga mereka agar dapat berkomunikasi dalam
jarak jauh. “T-tentara belanda ? cepat suruh para gadis itu berkumpul di
belakang.” Dawan dan Fadli segera memerintahkan kedua gadis bersurai pink dan
pirang tersebut berkumpul di tempat Wira dan Prisil sekarang. Selanjutnya, para
tentara muda tersebut berkumpul di depan rumah tua tersebut. Wira dan Fadli
bersembunyi di bagian bawah, sementara Dawan tetap berada di atas.
“Berapa jumlah mereka ?” suara Wira
bergetar di telinga kiri pemuda berambut hitam itu. “sekitar 30 orang.” Jelas
Dawan dengan mata rubynya melalui teropong kecil dari senjata yang sedang di
genggamnya. “gawat.. simpan tembakan kalian sampai ada aba-aba dariku.”
“Baik” keduanya berbisik pelan menjawab perintah dari Wira.
Para tentara yang tadinya
masih terlihat seukuran semut, kini
langkah kaki mereka dapat terdengar jelas di kedua telinga ketiga tentara
tersebut. Suasana yang begitu sunyi terlihat diantara Wira, Dawan, dan Fadli
dengan kedua tangan memegangi senjata dan mata yang sibuk memperhatikan para
tentara belanda. Terlihat juga beberapa keringat dingin mulai membasahi kedua
pipi mereka, jantung yang sedikit berdetak kencang, dan… sedikit gemetar ?
“Alpha 1, di sini markas besar.
Ganti.” Tiba-tiba Manpack yang telah dianggap
rusak, mengeluarkan suara yang dapat membanjiri seluruh tubuh mereka
dengan keringat dingin dan detak jantung yang seakan berlomba berdetak cepat.
Tentunya kejadian ini membuat langkah para tentara belanda terhenti dan
langsung menatap sebuah rumah kayu tua di hadapan mereka dengan tatapan penuh
curiga.
“B-BODOOH… !” teriak Wira pelan
sembari mengencangkan kedua tangannya di kerah baju Fadli. Sementara pemuda
yang sedang diancam makin ketakutan setengah mati dan segera menutup lubang
speaker radio yang sudah mengancam nyawa mereka bertiga.
Pimpinan tentara belanda yang
diketahui bernama Irfan Van Dekuk melalui tag name yang terletak di bagian dada
kiri tersebut, segera memerintahkan salah-satu anggotanya memeriksa keadaan
rumah tua di hadapan mereka. Anggota tentara belanda tersebut segera melewati
pagar rumah dan melihat kondisi rumah tersebut melalui jendela dengan panjang
mencapai perut dari tentara itu. Sementara Wira dan Fadli tepat berada di balik
jendela yang cukup besar tersebut dengan posisi tiarap sehingga tentara yang
sedang mengawasi tidak dapat melihat mereka. Oh ya, jangan lupa Dawan yang tengah
bersiap-siap melesatkan tembakan yang mengarah langsung pada pemimpin tetara
belanda yang ada di luar.
DEG,DEG…. DEG,DEG… DEG,DEG…
begitulah suara jantung mereka saat ini. Namun tentunya suara itu hanya dapat
di dengar dan dirasakan oleh diri mereka sendiri.
“Kyyyyyyaaaaaaa.. ada TIKUUUSSSSS…”
akhirnya, rencana mereka gagal setelah terdengar suara dari para gadis yang
berada di bagian belakang yang sedang berkecamuk dengan seekor hewan tak
berdosa yang kebetulan hanya menumpang lewat.
“Letnan ! mereka ada di rumah ini.”
Tentara belanda dengan pakaian lengkap itu segera menegakkan badannya, memberi
sedikit hormat, dan melapor pada pimpinan mereka. “Cepat bunuh mereka semua.”
Segera sekumpulan tentara belanda yang berjumlah 20-an orang menuju dan
berbaris di depan pintu rumah tua tersebut. Sementara sisanya masih berjaga di
jalanan.
“W-wira ! M-maksudku L-letnan… !”
teriak Dawan dalam kondisi yang bisa di bilang berbisik di telinga kiri Wira
melalui sebuah radio kecil, dan tentunya bisikan ini dapat di dengar juga oleh Fadli melalui telinga kirinya.
“A-ada apa” Wira semakin ketakutan.
“Di balik pintu depan itu aku meletakkan sebuah ranjau..” Jelas Dawan dengan
nada ketakutan “R-RANJAU ?!” kedua bola mata Wira semakin melebar, diikuti Fadli
yang tak kalah lebarnya karena Dawan dan pemuda bersurai cokelat itulah yang
meletakkan ranjau tersebut ketika pemimpin mereka sedang asyik berbincang
dengan seorang gadis yang diketahui bernama Prisil itu.
Ketika terdengar suara pintu
terbuka, kedua pemuda itu segera lari terbirit-birit.. dan… DUUUAAARRR….
Lenyaplah ke 20 tentara belanda yang tadinya berdiri gagah dengan ekspresi
licik yang terpampang di wajah mereka masing-masing. “Suara apa itu ?” Tanya
Gisell yang sekarang berada dalam pelukan Selly karena ketakutan melihat seekor
tikus tak berdosa tadi.
“Sial.. jangan kesana, mungkin
masih ada ranjau lainnya. Bersembunyi di balik pohon itu.” Irfan Van Dekuk dan
pasukannya bersembunyi di balik beberapa pohon jalanan yang cukup besar, yang
sengaja di tanam di pinggir jalan beraspal agar sedikit memperindah dekorasi
bentuk jalanan desa tersebut.
“Fyuuuuuuu…” desah Wira legah..
setelah berusaha memperoleh kesadaran penuh, mereka segera bergabung dengan
Dawan yang masih terlihat was-was dengan keadaan. “Bagaimana ?” Fadli angkat
suara setelah kejadian yang hampir membuat jantungnya meledak. “Mereka di balik
pepohonan itu” jawab Dawan menunjuk beberapa pohon yang terlihat saling
berjejeran melalui celah kayu yang mungkin telah dimakan usia.
(Tsiiit)… tanpa sengaja Dawan
mengeluarkan sebuah tembakan yang mungkin tidak dapat di dengar oleh
segerombolan tentara belanda karena sniper miliknya menggunakan sebuah peredam
yang membuat bunyi tembakan senjata itu terdengar kecil. Namun sialnya, cahaya
dari efek dorongan peluru tersebut dilihat oleh salah-seorang tentara yang
sedang bersembunyi di balik beberapa pohon jalanan itu.
“Disana… ” (Tsiiit) “Aghhh….”
(Tsiiit) secara spontan tentara belanda tersebut berteriak dan menunjuk lokasi
para pemuda tersebut. Tapi dengan cepat Dawan segera menembak tangan tentara
tersebut yang disusul tembakan pada jantung, karena posisi badan dari tentara
tersebut yang agak mundur ke belakang setelah mendapat tembakan ditangannya. hal
ini pun dapat memberi ruang cukup bagi seorang penembak jitu itu untuk
mengarahkan pelurunya tepat pada bagian dada.
“serang para tentara Indonesia
itu.” Ucap Irfan Van Dekuk dengan sedikit meluap-luap. “Tembak.. !” perintahnya
kini diikuti seruan dari seluruh tentara belanda yang tersisa.
(TuuTuuTuuf)… (TuuTuuTuuTuuTuuf)…
“Serbu…” kini para tentara belanda tersebut semakin berhasrat untuk membunuh
ketiga tentara Indonesia itu. (TuuTuuf)… (TuuTuuTuuTuuTuuTuuf)…. (TuuTuuTuuf)….
Ketiga tentara muda ini hanya dapat
diam sembari memegangi kepala mereka masing-masing, berharap tidak ada satupun
peluru yang akan mengenai mereka. Terlihat beberapa lubang pada papan rumah tua
tersebut. Semakin lama, lubang pada papan tersebut semakin banyak dan mereka
masih tetap berkumpul di sudut ruangan dengan menutupi kepala mereka dengan
kedua tangan.
“Aaaghh…”
“Letnan.. !” Fadli berteriak
setelah melihat pemuda bersurai kuning tersebut kesakitan karena bahu kiri
pemuda itu telah mendapat sebuah peluru panas. Fadli dengan cepat mengambil
perban dalam tas ransel hitam miliknya. “T-terima kasih. Aku baik-baik saja
sekarang.”
“Haaaaaa…” (Tsiiit)… (Tsiiit)…
“Aaaggh” “Agghh” saking emosinya amarah pemuda bersurai hitam tersebut melonjak
tinggi. Ia segera berdiri dan memberikan balasan tembakan pada tentara belanda
yang berhasil membunuh 2 tentara belanda tersebut. Namun tetap, peluruh yang
meluncur kearah mereka makin bertamba.
Setelah menunggu cukup lama, ketiga
pemuda tersebut saling bertatapan satu sama lain. Mereka saling menatap diikuti
dengan sebuah anggukan yakin dari ketiganya. Kini, entah kenapa, dalam diri
mereka bertiga mulai tumbuh sebuah semangat baru, sebuah semangat merdeka. Saat
ini, tidak ada kata takut sama sekali dalam diri mereka. Semangat mereka telah
siap untuk mereka luapkan.
“Ayo kita turun dan bunuh mereka.”
Ucap Wira semangat diikuti anggukan dari kedua sahabatnya.
“Yaaaa…”
“Hidup dan Mati hanya untuk
Indonesia.”
“MERDEKAAA…”
Ketiga pemuda gagah itu turun.
Fadli di kiri, Wira di tengah, dan Dawan di kanan, begitulah kira-kira posisi
mereka setelah keluar dari rumah tua tersebut. Mereka melangkah dengan gagah
berani dan raut wajah yakin. “Tembakk… !”
(TuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuf)… Wira
mengeluarkan serangkayan rentetan peluru yang mengakibatkan 3 tentara belanda
tepar seketika. Namun kesuksesannya ini harus dibayar mahal karena kini peluru
pemuda tersebut habis. Sebenarnya jika saja kedua temannya itu tidak meletakkan
ranjau yang mengharuskannya meninggalkan tas ransel miliknya yang berisi
seluruh amunisi itu, pasti masih ada kesempatan untuk sekedar mengisi
senjatanya.
“Aaaggghh…” Karena kehabisan
peluru, kondisi ini memberikan kesempatan bagus bagi para sisa tentara belanda
untuk menyarangkan peluru tepat di perut serta kaki kiri pemuda bersurai kuning
itu.
“LETNAN .. !” teriak Dawan dan
Fadli bersamaan. “maju terus. Jangan pedulikan aku.”
“B-baik”
(Tsiiit).. (Tsiiit).. (Tsiiit)...
(Tsiit).. (Tsiiit).. Dawan meluncurkan lima tembakannya yang sukses membunuh 3
tentara belanda. “Aggghhh….” Seperti halnya dengan Wira, pemuda bersurai hitam
itu mendapat sebuah tembakan di kaki kirinya. “HAaaaaaa…”
(TuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuf) melihat Dawan mendapat sebuah tembakan panas, Fadli
yang emosi langsung menembak para tentara belanda dengan asal namun berhasil
membunuh 2 tentara belanda. “sial.. peluruku habis. Letnan, Dawan..” setelah
menyadari senjata yang sedang di genggamnya kehabisan peluru, pemuda bersurai
cokelat itu segera balik belakang dan berlari menghampiri kedua temannya.
Fadli merebahkan lututnya ke tanah.
Pemuda itu mensejajarkan tubuhnya dengan kedua sahabatnya yang masih terbaring
kesakitan. Dengan sisa tenaga yang ada, Wira bangkit berdiri dan mengambil
pistol yang sengaja di ikatnya pada kaki kanannya sebagai cadangan. Pemuda itu
segera mengarahkan tembakannya pada seorang tentara belanda. Yap, orang
tersebut tidak lain merupakan pimpinan dan satu-satunya tentara belanda yang
tersisa.
Dewi fortuna nampaknya belum
berpihak pada pemuda bersurai kuning tersebut. Karena pasalnya, dari
serangkaian rentetan tembakan yang ada, tidak satupun yang mengenai letnan
Irfan Van Dekuk. Mungkin letnan yang satu ini pandai bersembunyi. “Sial..
Sial.. Siaaaaaal.” Teriak Wira sekencang-kencangnya. “Hah ? Dawaaaann.. !”
situasi hati Wira segera berubah setelah melihat letnan belanda tersebut
mengeluarkan kepalanya sembari membidik para tentara Indonesia ini.
Dengan cepat Wira melempar pistol
yang tak berisi satupun peluru itu kearah letnan Irfan Van Dekuk. Sementara kedua
sahabatnya hanya terpana melihat sebuah pistol kosong yang melintas indah di
atas kepala mereka. Dan pistol berukuran kucup kecil itu sukses mengenai kepala
letnan Irfan Van Dekuk. “A-awww…” letnan Irfan kesakitan. Tanpa sadar ia
melangkah keluar pohon dengan memegangi kepalanya. “Dawan. Sekaraaaaaanng !”
Dawan yang mengerti maksud sahabatnya itu langsung melesatkan peluru terakhir
yang ia miliki.
(Tsiit).. “A-agh…” sebuah peluru
runcing berhasil dilesatkan pemuda dengan surai hitam tersebut di kepala letnan
irfan Van Dekuk. “MERDEKA” ucap ketiganya serentak setelah berhasil membunuh
letnan Irfan tersebut.
Setelah beberapa menit mengumpulkan
kekuatan mereka. Wira, Dawan, dan Fadli langsung menjemput para gadis yang
terlihat ketakutan di ruang belakang rumah tua tersebut. Mereka semua akhirnya
menaiki sebuah jeep belanda dari beberapa yang ada. Wira dan kawan-kawan
langsung menuju markas besar mereka.
Dalam perjalanan…
“Sudah. Jangan takut lagi. Kita
akan segera pulang ke tempat yang aman… Hmm.. oh ya, bagaimana kalau kau
menikah denganku saja, aku pasti akan selalu melindungimu.” Ujar Wira pada
Gadis bersurai ungu yang terlihat sedang mengkhawatirkan kondisi pemuda itu.
Sontak Prisil hanya bisa tertunduk malu dengan rona merah yang sudah menutupi
seluruh tubuhnya. Sementara Dawan dan Fadli hanya tertawa melihat rayuan maut
pemuda bersurai kuning tersebut. Sampai sebuah suara mengejutkan mereka semua…
“I-iya aku mau.” Jawab Prisil setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk
menjawab pertanyaan main-main namun terkesan serius itu.
“H-haaaa ?” seluruh mulut insan
minus Wira dan Prisil yang ada dalam jeep tersebut terbuka lebar. Tak lama
Dawan dan Fadli saling membuat sebuah tatapan serius di antara mereka dengan
sebuah senyuman lebar. “Bagaimana dengan kalian ?” Tanya kedua pemuda itu
serentak pada Selly dan Gisell. “Heh ?” kedua gadis itu heran. melihat situasi,
Wira akhirnya angkat bicara. “maksudnya, apa kalian mau menikah dengan kedua
sahabatku yang jelek ini ?” DEKK.. seketika dua pasang mata yang merasa
tersinggung langsung membuang pandang kearah Wira dengan tatapan horor.
“Dasar kauu…” Dawan dan Fadli
segera mengambil gerakan memukul. Namun lagi-lagi gerakan mereka berhenti
setelah mendengar suara dari kedua gadis bersurai pink dan pirang pucat ini
secara bersamaan
“I-iya, kami mau.”
The End
Thank’s ya
buat yang udah baca cerita hamba kali ini yang berjudul Semangat Merdeka walau
agak kurang seru sih… hehehe..
No comments:
Post a Comment