Friday, 21 August 2015

Cerita petualangan : Semangat Merdeka (One Shoot)



Semangat Merdeka


            Note :
 1. Semua cerita yang hamba buat ini 100% berasal dari otak hamba dan bukan hasil copyan dari cerita lain
2. Dilarang keras meng-copy/re-copy semua cerita hamba.




            Ohaiyo Gozaimasu Minna san…. Kodoyo Habar !
Kali ini hamba akan share sebuah Cerita Cinta berjudul Semangat Merdeka. Ok untuk lebih jelasnya simak keterangan di bawah ini :



Keterangan :
            1 : pada cerita kali ini, para tentara belanda akan berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Karena jika menggunakan bahasa Inggris dan Belanda, pasti para pembaca sekalian bingung mencari arti kalimat di yang dikatakan dalam cerita.
            2 : Suara senjata : Tsiit (Sniper Rifle menggunakan peredam suara)
                                              TuuTuuf / TuuTuuTuuTuuTuuTuuf (M-16. Dan dibaca cepat.)


Semangat Merdeka (One Shoot) by Wirasetya Rade
.
.
.

Genre : War, Action, Drama.
Warning : AU, OOC, Typos, etc.
Jumlah Chapter  1 (One Shoot)
Pairing : Wira, Dawan, Fadli (20 tahun) x Prisil, Selly, Gisell (20 Tahun)
Summary : Sekelompok tentara yang telah berhasil menyelesaikan misi harus berusaha bertahan hidup dan mencari transportasi menuju markas mereka karena sebuah insiden tak terduga. Let’s read guys..
.
DON’T LIKE, DON’T READ !
.
.
.


“Markas besar… markas besar… di sini Alpha 1.. di ulangi, di sini Alpha 1 melapor.” Ucap seorang letnan berambut kuning, mata safir, dan berkulit tan dari sebuah helicopter melalui sebuah radio portable yang biasa  disebut “Manpack” yang terpasang rapih di punggung anggotanya yang juga merupakan seorang tentara medis.



            “Di sini markas besar kepada Alpha 1. Bagaimana keadaan ? ganti..” ucap seorang anggota  tentara bersurai putih dari balik benda yang di sebut Manpack tersebut. “Misi selesai. Pangkalan minyak belanda berhasil di musnahkan. Ganti..” balas Letnan berambut kuning itu dari atas helicopter. “bagus. Berapa anggota yang selamat. ?” Tanya anggota bersurai putih itu kembali.



            “1 pilot bernama Dawan, 1 medis bernama Fadli, 3 orang warga sipil berjenis kelamin perempuan dan masing-masing berusia 20 tahun, serta saya sendiri Letnan Wira. Ganti..” Balas sang Letnan. “Baiklah. Segera menuju markas.”



            Ketiga pemuda ini bernama Dawan, berambut Hitam, dengan warna mata  ruby, dan juga kulit putih, sebagai pilot. Fadli, berambut Cokelat, dengan warna mata seperti onix, juga kulit putih pucat, sebagai medis, serta Wira yang memiliki rambut kuning, dengan warna mata safir, dan kulit tan, sebagai pemimpin regu.



            Mereka bertiga di berikan sebuah misi untuk menghancurkan pangkalan minyak tentara Belanda yang berada di sebuah desa besar dan berpenduduk cukup banyak yang bernama Brasta. Dalam perjalanan menuju Brasta, mereka terkejut dengan suasana horror karena kini desa tersebut telah hancur berantakan dengan kondisi mayat penduduk yang berserakkan dimana-mana.



            Menurut atasan mereka, sebelum mereka ditugaskan, atasan mereka telah menugaskan sebuah kelompok kecil yang beranggotakan 7 orang dengan 2 helicopter untuk menghancurkan salah-satu sumber penghasilan Belanda tersebut namun hasilnya nihil. Para tentara yang di tugaskan sebelumnya menghilang bagai ditelan bumi dalam sebuah pertempuran hebat. Untuk itulah atasan mereka mengirimkan 3 orang pemuda gagah berani ini untuk mengganti para tentara sebelumnya.



            Setelah ke tiga pemuda itu berhasil menghancurkan target, mereka melihat 3 orang gadis yang sedang melambaikan tangan dengan teriakan super kencang dari atas helicopter mereka. Gadis yang pertama memiliki rambut ungu, mata Amethyst, dengan kulit putih mulus. Gadis kedua bersurai pink, mata emerald dan kulit putih. Dan yang terakhir berambut pirang pucat sepinggang.



            “Hancurkan mereka. !” perintah seorang pimpinan tentara Belanda, berambut merah dan lingkar mata seperti panda dengan pakaian tentara lengkap setelah melihat helicopter tentara Indonesia yang melintas di atas kepalanyanya . Di sebelah kirinya terdapat salah-seorang anggota terlihat sedang memegangi sebuah Rocket Launcher (Rudal). Di belakang pria kekar tersebut terdapat sekumpulan besar tentara bawaannya dengan beberapa Jeep namun ada juga yang berjalan kaki.



            FUUSSSSS… DUUAARRR ! peluru berukuran besar yang tadinya berasal dari sebuah jalanan beraspal kini sampai dan mengenai ekor helicopter yang sedang di tumpangi Wira dan kawan-kawan.



            “Mayday… mayday… Alpha 1 jatuh.. Alpha 1 jatuh…” teriak pemuda bersurai hitam yang diketahui bernama Dawan ini melalui sebuah alat komunikasi yang terhubung langsung dengan pangkalan udara.

“Kyyyyyyyaaaaaaaaaa…”



            “Hey.. tenang-tenang.. !” Wira berusaha meredam kepanikan dari para gadis yang terlihat sangat takut itu. Ada yang berteriak seperti melihat hantu, ada juga yang sedang menutupi mulut dengan dua tangan untuk mencegah cairan super bau kalau-kalau akan keluar, bahkan ada juga yang langsung pingsan seketika saking paniknya.



            “Dawan, segera cari sebuah tempat untuk mendarat. !” perintah pemuda bersurai kuning itu pada pilot sekaligus sahabat kecilnya tersebut. Sementara Fadli hanya sibuk dengan Manpack yang tergantung gagah di punggung pemuda bersurai cokelat tersebut. “Baik pak.”

            “Aaaaaaaaaa…. !” BRUUUKK… !

oOo Skip oOo
20:00, hutan Brasta, 3 jam setelah Alpha 1 jatuh.


            “Eghh… A-aw..” pemuda bersurai hitam muncul dari bagian depan puing-puing helicopter yang masih terlihat beberapa kumpulan asap pada spot-spot tertentu. Pemuda itu segera membersihkan beberapa kotoran yang sedari tadi menempel bagai lumut di seluruh tubuhnya, dan berusaha mencari rekan-rekannya di antara dinginnya malam hutan Brasta.



            Tak lama setelah itu, Dawan yang sedari tadi sibuk mencari seluruh rekannya, akhirnya menemukan kedua sahabatnya serta para gadis yang sedang berjalan tunggang-langgang sembari memegangi perut mereka masing-masing. Oh ya, jangan lupa Fadli yang terlihat menggendong seorang gadis bersurai pirang pucat yang ternyata belum sadar sejak tadi.



            “Bagaimana keadaanmu ?” Tanya Wira yang ternyata telah sampai tepat di depan Dawan dengan sedikit memperhatikan mulai dari ujung kaki sampai kepala pemuda bersurai hitam tersebut. “Siap. Saya baik pak. Hanya bagian tangan kiri saya saja yang terluka.” Jawab Dawan menegakkan tubuhnya. “Baguslah. Hm.. oh ya, mulai sekarang aku ingin kau memanggilku dengan namaku saja. Dan bersikaplah seperti biasa ” Wira tersenyum sembari menepuk pelan bahu Dawan.



            Mereka segera mencari tempat berlindung untuk sekedar beristirahat sampai sang fajar muncul dan menampakkan dirinya. Mereka menemukan sebuah semak yang cukup luas dengan diapit ke dua pohon pisang di bagian kiri-kanannya.



            “Kalian tidurlah. Kami akan berjaga” ujar Wira pada kedua gadis minus gadis bersurai pirang pucat yang masih bergejolak dalam dunia bawah sadarnya. Pemuda bermata safir itu segera memberi kode pada Fadli untuk menyusul ke tempat Dawan yang masih sibuk membersihkan beberapa senjata di bawah pohon besar berjarak 5 langkah dari tempat tidur mereka.



            “Hey bung.. Bagaimana persiapan senjata kita ?” Tanya Fadli menepuk punggung Dawan dan merebahkan pantatnya di sebuah batang pohon. “Hanya tersisa 2 unit M-16, 1 unit sniper rifle, 1 unit pistol, 1 unit peredam, 3 unit ranjau, dan 1 kotak kecil amunisi dari masing-masing senjata.” Dawan memperlihatkan semua persediaan senjata pada kedua sahabatnya. “Sial.. ! bagaimana dengan radio ?” lanjut Wira yang kali ini berbalik mengarahkan pandangannya pada Fadli. “…..” Pemuda bermata onix tersebut hanya diam dengan sedikit menggelengkan kepalanya. “Haaahh… kalau begitu kita harus menghemat setiap peluru yang kita miliki sampai kita sampai di markas besar….” “baiklah, aku dan Fadli akan mengambil M-16. dan kau Dawan, kau akan mengambil sniper dan juga peredam. Sementara pistol akan kita jadikan cadangan. ” jelas Wira panjang lebar.
            M-16
            Sniper Rifle
Pistol & Peredam
Ranjau
oOo Skip oOo
            Wira membuka matanya dengan malas. Pemuda itu berkedip beberapa kali sebelum benar-benar bangun. Ia meregangkan tubuhnya untuk memperoleh kesadaran penuh. Setelah beberapa sinar matahari yang berhasil menembus dedaunan dan mengenai wajahnya, ia segera membangunkan kedua rekan serta para gadis yang masih berada dalam dunia mimpi mereka masing-masing.



            Kemana kita akan pergi ? Tanya gadis berambut pink memegangi kepalanya. Mungkin efek dari kejadian kemarin. “kita akan menuju desa.”. setelah memulai hari dengan beberapa perbincangan singkat, mereka mulai berjalan. Wira di bagian depan diikuti Fadli di urutan kedua, ke tiga gadis yang terlihat sangat was-was dan Dawan di barisan belakang.



            “Itu dia.” Wira melihat sebuah rumah tua, berlatar belakang warna biru, berbahan dasar kayu, bertingkat 2, dan dikelilingi pagar kayu serta beberapa rumah para penduduk. Mereka segera menuju rumah tua tersebut dan segera mengatur posisi masing-masing. Fadli yang berjaga di sudut ruangan dengan sebuah jendela kecil sebagai media pengintaian, Wira yang berjaga di bagian belakang di sebuah dapur kecil dengan beberapa jendela, dan Dawan yang di tempatkan di tingkat dua. Pemuda ruby ini sengaja di tempatkan di bagian atas karena ia merupakan salah-satu penembak jituh yang mahir menggunakan senjata seperti Sniper dan sebagainya.



“P-permisi.” Sebuah suara halus tiba-tiba menghamburkan rasa waspada Dawan. “Hm ?” ditariknya mata ruby pemuda itu dari sebuah teropong kecil yang terpasang di bagian atas senjata dan diarahkannya pada seorang gadis bersurai pink dengan keindahan mata emerald yang tengah tertunduk malu.



“Apa kau ada sedikit makanan ?” dengan sedikit keberanian gadis bersurai pink ini menatap lawan bicaranya. DEGG.. mata gadis itu sedikit melebar dengan irama jantung berdebar kencang. Ini merupakan momen pertama baginya melihat wajah pemuda yang seketika merembet masuk ke dalam hati gadis yang satu ini.



“Hmm.. tunggu sebentar.” Sementara Dawan mengotak-atik ransel hitam miliknya, dengan malu-malu gadis bermata emerald ini merebahkan tubuhnya di sebelah Dawan dengan sesumbrat merah yang muncul di kedua pipinya. “Ini. makanlah” Dawan mengeluarkan sebuah kotak makanan berukuran kecil berbahan dasar alumunium. “B-bagaimana denganmu ?”



“Aku tidak apa-apa. Jadi kau makan sajalah.” Sebenarnya perut pemuda itu sudah cukup mengamuk kelaparan. Namun ia tidak tega melihat keadaan seorang gadis yang sedang kelaparan. “Terima kasih.” Dengan malu-malu gadis itu mengambil kotak makanan diikuti senyum simpul yang terpancar dari pemuda bersurai hitam tersebut.



“Ee.. N-namamu siapa ?” Tanya Dawan sedikit mencuri-curi pandang “Namaku Selly. K-kalau kau ?” Tanya Selly balik namun tetap dengan aktivitas santap-menyantapnya. “Namaku Dawan”

Sementara itu…..
           
            “M-maaf..”
            “Hm ? oh kau rupanya. Ada apa ?” Wira yang sedari tadi sibuk memperhatikan  jendela kecil dengan pemandangan beberapa rumah di balik kaca tebal tersebut sedikit terkejut dan mencari  sumber suara. “E-ee… I-itu.. T-tolong temani aku B-buang air kecil.” Ucapnya dengan nada malu-malu dan rona merah yang terpampang jelas di kedua pipinya. Ternyata gadis bersurai ungu ini telah jatuh hati  pada saat pertama kali melihat pemuda tampan dengan surai kuningnya ini.

           

“Oh, baiklah.” Kedua insan itu segera menuju sebuah ruangan kecil dengan tulisan toilet di atasnya yang kebetulan berada di luar rumah tua tersebut. Wira mempersilahkan gadis dengan surai ungu masuk sedangkan ia berjaga diluar ruangan yang biasa di sebut toilet tersebut. Setelah selesai, mereka langsung melenggangkan kedua kaki mereka masuk kembali kedalam rumah tua yang terkesan cukup angker bagi para gadis itu.

           

“Oh ya, kalau boleh tau namamu siapa ?” Tanya Wira pada seorang gadis yang kini duduk tepat disebelahnya dengan kepala tertunduk karena malu. “P-prisil.” Jawab Prisil gugup. “Oh. Kalau namaku Wira.” Pemuda bersurai kuning tersebut menyodorkan tangannya dan langsung di balas Prisil namun sedikit gemetar.

Sementara itu…
           

“H-hay.. boleh aku duduk di sini ?” ucap gadis bersurai pirang pucat ini pada Fadli yang terlihat sangat waspada dengan keadaan di luar rumah. “terserah kau saja.”
            “Kalau boleh tau namamu siapa ?”
            “Fadli. Kau ?”
            “Gisell”
            Begitulah beberapa percakapan mereka sampai….
           

“Wira, Fadli. Aku melihat sekumpulan tentara belanda yang sedang menaiki beberapa jeep.” Dawan memberikan informasi yang cukup mengejutkan pada kedua sahabatnya memalui sebuah alat yang sengaja di pajang di sekitar telinga mereka agar dapat berkomunikasi dalam jarak jauh. “T-tentara belanda ? cepat suruh para gadis itu berkumpul di belakang.” Dawan dan Fadli segera memerintahkan kedua gadis bersurai pink dan pirang tersebut berkumpul di tempat Wira dan Prisil sekarang. Selanjutnya, para tentara muda tersebut berkumpul di depan rumah tua tersebut. Wira dan Fadli bersembunyi di bagian bawah, sementara Dawan tetap berada di atas.

           

“Berapa jumlah mereka ?” suara Wira bergetar di telinga kiri pemuda berambut hitam itu. “sekitar 30 orang.” Jelas Dawan dengan mata rubynya melalui teropong kecil dari senjata yang sedang di genggamnya. “gawat.. simpan tembakan kalian sampai ada aba-aba dariku.”
“Baik” keduanya berbisik pelan menjawab perintah dari Wira.

           

Para tentara yang tadinya masih  terlihat seukuran semut, kini langkah kaki mereka dapat terdengar jelas di kedua telinga ketiga tentara tersebut. Suasana yang begitu sunyi terlihat diantara Wira, Dawan, dan Fadli dengan kedua tangan memegangi senjata dan mata yang sibuk memperhatikan para tentara belanda. Terlihat juga beberapa keringat dingin mulai membasahi kedua pipi mereka, jantung yang sedikit berdetak kencang, dan… sedikit gemetar ?

           

“Alpha 1, di sini markas besar. Ganti.” Tiba-tiba Manpack yang telah dianggap  rusak, mengeluarkan suara yang dapat membanjiri seluruh tubuh mereka dengan keringat dingin dan detak jantung yang seakan berlomba berdetak cepat. Tentunya kejadian ini membuat langkah para tentara belanda terhenti dan langsung menatap sebuah rumah kayu tua di hadapan mereka dengan tatapan penuh curiga.

           

“B-BODOOH… !” teriak Wira pelan sembari mengencangkan kedua tangannya di kerah baju Fadli. Sementara pemuda yang sedang diancam makin ketakutan setengah mati dan segera menutup lubang speaker radio yang sudah mengancam nyawa mereka bertiga.

           

Pimpinan tentara belanda yang diketahui bernama Irfan Van Dekuk melalui tag name yang terletak di bagian dada kiri tersebut, segera memerintahkan salah-satu anggotanya memeriksa keadaan rumah tua di hadapan mereka. Anggota tentara belanda tersebut segera melewati pagar rumah dan melihat kondisi rumah tersebut melalui jendela dengan panjang mencapai perut dari tentara itu. Sementara Wira dan Fadli tepat berada di balik jendela yang cukup besar tersebut dengan posisi tiarap sehingga tentara yang sedang mengawasi tidak dapat melihat mereka. Oh ya, jangan lupa Dawan yang tengah bersiap-siap melesatkan tembakan yang mengarah langsung pada pemimpin tetara belanda yang ada di luar.


DEG,DEG…. DEG,DEG… DEG,DEG… begitulah suara jantung mereka saat ini. Namun tentunya suara itu hanya dapat di dengar dan dirasakan oleh diri mereka sendiri.
           

“Kyyyyyyaaaaaaa.. ada TIKUUUSSSSS…” akhirnya, rencana mereka gagal setelah terdengar suara dari para gadis yang berada di bagian belakang yang sedang berkecamuk dengan seekor hewan tak berdosa yang kebetulan hanya menumpang lewat.

           

“Letnan ! mereka ada di rumah ini.” Tentara belanda dengan pakaian lengkap itu segera menegakkan badannya, memberi sedikit hormat, dan melapor pada pimpinan mereka. “Cepat bunuh mereka semua.” Segera sekumpulan tentara belanda yang berjumlah 20-an orang menuju dan berbaris di depan pintu rumah tua tersebut. Sementara sisanya masih berjaga di jalanan.

           

“W-wira ! M-maksudku L-letnan… !” teriak Dawan dalam kondisi yang bisa di bilang berbisik di telinga kiri Wira melalui sebuah radio kecil, dan tentunya bisikan ini dapat di dengar  juga oleh Fadli melalui telinga kirinya.

           

“A-ada apa” Wira semakin ketakutan. “Di balik pintu depan itu aku meletakkan sebuah ranjau..” Jelas Dawan dengan nada ketakutan “R-RANJAU ?!” kedua bola mata Wira semakin melebar, diikuti Fadli yang tak kalah lebarnya karena Dawan dan pemuda bersurai cokelat itulah yang meletakkan ranjau tersebut ketika pemimpin mereka sedang asyik berbincang dengan seorang gadis yang diketahui bernama Prisil itu.

           

Ketika terdengar suara pintu terbuka, kedua pemuda itu segera lari terbirit-birit.. dan… DUUUAAARRR…. Lenyaplah ke 20 tentara belanda yang tadinya berdiri gagah dengan ekspresi licik yang terpampang di wajah mereka masing-masing. “Suara apa itu ?” Tanya Gisell yang sekarang berada dalam pelukan Selly karena ketakutan melihat seekor tikus tak berdosa tadi.

           

“Sial.. jangan kesana, mungkin masih ada ranjau lainnya. Bersembunyi di balik pohon itu.” Irfan Van Dekuk dan pasukannya bersembunyi di balik beberapa pohon jalanan yang cukup besar, yang sengaja di tanam di pinggir jalan beraspal agar sedikit memperindah dekorasi bentuk jalanan desa tersebut.



“Fyuuuuuuu…” desah Wira legah.. setelah berusaha memperoleh kesadaran penuh, mereka segera bergabung dengan Dawan yang masih terlihat was-was dengan keadaan. “Bagaimana ?” Fadli angkat suara setelah kejadian yang hampir membuat jantungnya meledak. “Mereka di balik pepohonan itu” jawab Dawan menunjuk beberapa pohon yang terlihat saling berjejeran melalui celah kayu yang mungkin telah dimakan usia.



(Tsiiit)… tanpa sengaja Dawan mengeluarkan sebuah tembakan yang mungkin tidak dapat di dengar oleh segerombolan tentara belanda karena sniper miliknya menggunakan sebuah peredam yang membuat bunyi tembakan senjata itu terdengar kecil. Namun sialnya, cahaya dari efek dorongan peluru tersebut dilihat oleh salah-seorang tentara yang sedang bersembunyi di balik beberapa pohon jalanan itu.



“Disana… ” (Tsiiit) “Aghhh….” (Tsiiit) secara spontan tentara belanda tersebut berteriak dan menunjuk lokasi para pemuda tersebut. Tapi dengan cepat Dawan segera menembak tangan tentara tersebut yang disusul tembakan pada jantung, karena posisi badan dari tentara tersebut yang agak mundur ke belakang setelah mendapat tembakan ditangannya. hal ini pun dapat memberi ruang cukup bagi seorang penembak jitu itu untuk mengarahkan pelurunya tepat pada bagian dada.



“serang para tentara Indonesia itu.” Ucap Irfan Van Dekuk dengan sedikit meluap-luap. “Tembak.. !” perintahnya kini diikuti seruan dari seluruh tentara belanda yang tersisa.



(TuuTuuTuuf)… (TuuTuuTuuTuuTuuf)… “Serbu…” kini para tentara belanda tersebut semakin berhasrat untuk membunuh ketiga tentara Indonesia itu. (TuuTuuf)… (TuuTuuTuuTuuTuuTuuf)…. (TuuTuuTuuf)….



Ketiga tentara muda ini hanya dapat diam sembari memegangi kepala mereka masing-masing, berharap tidak ada satupun peluru yang akan mengenai mereka. Terlihat beberapa lubang pada papan rumah tua tersebut. Semakin lama, lubang pada papan tersebut semakin banyak dan mereka masih tetap berkumpul di sudut ruangan dengan menutupi kepala mereka dengan kedua tangan.

“Aaaghh…”


“Letnan.. !” Fadli berteriak setelah melihat pemuda bersurai kuning tersebut kesakitan karena bahu kiri pemuda itu telah mendapat sebuah peluru panas. Fadli dengan cepat mengambil perban dalam tas ransel hitam miliknya. “T-terima kasih. Aku baik-baik saja sekarang.”



“Haaaaaa…” (Tsiiit)… (Tsiiit)… “Aaaggh” “Agghh” saking emosinya amarah pemuda bersurai hitam tersebut melonjak tinggi. Ia segera berdiri dan memberikan balasan tembakan pada tentara belanda yang berhasil membunuh 2 tentara belanda tersebut. Namun tetap, peluruh yang meluncur kearah mereka makin bertamba.



Setelah menunggu cukup lama, ketiga pemuda tersebut saling bertatapan satu sama lain. Mereka saling menatap diikuti dengan sebuah anggukan yakin dari ketiganya. Kini, entah kenapa, dalam diri mereka bertiga mulai tumbuh sebuah semangat baru, sebuah semangat merdeka. Saat ini, tidak ada kata takut sama sekali dalam diri mereka. Semangat mereka telah siap untuk mereka luapkan.


“Ayo kita turun dan bunuh mereka.” Ucap Wira semangat diikuti anggukan dari kedua sahabatnya.
“Yaaaa…”
“Hidup dan Mati hanya untuk Indonesia.”
“MERDEKAAA…”



Ketiga pemuda gagah itu turun. Fadli di kiri, Wira di tengah, dan Dawan di kanan, begitulah kira-kira posisi mereka setelah keluar dari rumah tua tersebut. Mereka melangkah dengan gagah berani dan raut wajah yakin. “Tembakk… !”



(TuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuf)… Wira mengeluarkan serangkayan rentetan peluru yang mengakibatkan 3 tentara belanda tepar seketika. Namun kesuksesannya ini harus dibayar mahal karena kini peluru pemuda tersebut habis. Sebenarnya jika saja kedua temannya itu tidak meletakkan ranjau yang mengharuskannya meninggalkan tas ransel miliknya yang berisi seluruh amunisi itu, pasti masih ada kesempatan untuk sekedar mengisi senjatanya.



“Aaaggghh…” Karena kehabisan peluru, kondisi ini memberikan kesempatan bagus bagi para sisa tentara belanda untuk menyarangkan peluru tepat di perut serta kaki kiri pemuda bersurai kuning itu.
           
           

“LETNAN .. !” teriak Dawan dan Fadli bersamaan. “maju terus. Jangan pedulikan aku.”
            “B-baik”
           

(Tsiiit).. (Tsiiit).. (Tsiiit)... (Tsiit).. (Tsiiit).. Dawan meluncurkan lima tembakannya yang sukses membunuh 3 tentara belanda. “Aggghhh….” Seperti halnya dengan Wira, pemuda bersurai hitam itu mendapat sebuah tembakan di kaki kirinya. “HAaaaaaa…” (TuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuTuuf) melihat Dawan mendapat sebuah tembakan panas, Fadli yang emosi langsung menembak para tentara belanda dengan asal namun berhasil membunuh 2 tentara belanda. “sial.. peluruku habis. Letnan, Dawan..” setelah menyadari senjata yang sedang di genggamnya kehabisan peluru, pemuda bersurai cokelat itu segera balik belakang dan berlari menghampiri kedua temannya.

           

Fadli merebahkan lututnya ke tanah. Pemuda itu mensejajarkan tubuhnya dengan kedua sahabatnya yang masih terbaring kesakitan. Dengan sisa tenaga yang ada, Wira bangkit berdiri dan mengambil pistol yang sengaja di ikatnya pada kaki kanannya sebagai cadangan. Pemuda itu segera mengarahkan tembakannya pada seorang tentara belanda. Yap, orang tersebut tidak lain merupakan pimpinan dan satu-satunya tentara belanda yang tersisa.

           

Dewi fortuna nampaknya belum berpihak pada pemuda bersurai kuning tersebut. Karena pasalnya, dari serangkaian rentetan tembakan yang ada, tidak satupun yang mengenai letnan Irfan Van Dekuk. Mungkin letnan yang satu ini pandai bersembunyi. “Sial.. Sial.. Siaaaaaal.” Teriak Wira sekencang-kencangnya. “Hah ? Dawaaaann.. !” situasi hati Wira segera berubah setelah melihat letnan belanda tersebut mengeluarkan kepalanya sembari membidik para tentara Indonesia ini.

           

Dengan cepat Wira melempar pistol yang tak berisi satupun peluru itu kearah letnan Irfan Van Dekuk. Sementara kedua sahabatnya hanya terpana melihat sebuah pistol kosong yang melintas indah di atas kepala mereka. Dan pistol berukuran kucup kecil itu sukses mengenai kepala letnan Irfan Van Dekuk. “A-awww…” letnan Irfan kesakitan. Tanpa sadar ia melangkah keluar pohon dengan memegangi kepalanya. “Dawan. Sekaraaaaaanng !” Dawan yang mengerti maksud sahabatnya itu langsung melesatkan peluru terakhir yang ia miliki.

           

(Tsiit).. “A-agh…” sebuah peluru runcing berhasil dilesatkan pemuda dengan surai hitam tersebut di kepala letnan irfan Van Dekuk. “MERDEKA” ucap ketiganya serentak setelah berhasil membunuh letnan Irfan tersebut.

           

Setelah beberapa menit mengumpulkan kekuatan mereka. Wira, Dawan, dan Fadli langsung menjemput para gadis yang terlihat ketakutan di ruang belakang rumah tua tersebut. Mereka semua akhirnya menaiki sebuah jeep belanda dari beberapa yang ada. Wira dan kawan-kawan langsung menuju markas besar mereka.

            Dalam perjalanan…

           

“Sudah. Jangan takut lagi. Kita akan segera pulang ke tempat yang aman… Hmm.. oh ya, bagaimana kalau kau menikah denganku saja, aku pasti akan selalu melindungimu.” Ujar Wira pada Gadis bersurai ungu yang terlihat sedang mengkhawatirkan kondisi pemuda itu. Sontak Prisil hanya bisa tertunduk malu dengan rona merah yang sudah menutupi seluruh tubuhnya. Sementara Dawan dan Fadli hanya tertawa melihat rayuan maut pemuda bersurai kuning tersebut. Sampai sebuah suara mengejutkan mereka semua… “I-iya aku mau.” Jawab Prisil setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menjawab pertanyaan main-main namun terkesan serius itu.

           

“H-haaaa ?” seluruh mulut insan minus Wira dan Prisil yang ada dalam jeep tersebut terbuka lebar. Tak lama Dawan dan Fadli saling membuat sebuah tatapan serius di antara mereka dengan sebuah senyuman lebar. “Bagaimana dengan kalian ?” Tanya kedua pemuda itu serentak pada Selly dan Gisell. “Heh ?” kedua gadis itu heran. melihat situasi, Wira akhirnya angkat bicara. “maksudnya, apa kalian mau menikah dengan kedua sahabatku yang jelek ini ?” DEKK.. seketika dua pasang mata yang merasa tersinggung langsung membuang pandang kearah Wira dengan tatapan horor.
           

“Dasar kauu…” Dawan dan Fadli segera mengambil gerakan memukul. Namun lagi-lagi gerakan mereka berhenti setelah mendengar suara dari kedua gadis bersurai pink dan pirang pucat ini secara bersamaan
           

“I-iya, kami mau.”



The End

Thank’s ya buat yang udah baca cerita hamba kali ini yang berjudul Semangat Merdeka walau agak kurang seru sih… hehehe..

No comments:

Post a Comment